Visitors

free counters

Rabu, 12 September 2012

Pemimpin Itu Tidak Korupsi ... !!!

   
Oleh : Harminto

Lantas, bagaimana dengan kenyataan bahwa banyak para pemimpin perusahaan, BUMN, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan bahkan kepala negara yang telah melakukan korupsi? Apakah pernyataan tersebut hanyalah merupakan jargon sampah belaka?
Di dalam falsafah Jawa, kita mengenal bahwa pemimpin itu mempunyai harus sifat “ing ngarso sung tulodho”.  Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa pada saat di depan (ing ngarso), seorang pemimpin harus mampu untuk memberikan contoh/tauladan yang baik (sung tulodho) kepada orang-orang yang dipimpinnya.  Melakukan korupsi adalah contoh tindakan yang tidak baik bagi seorang pemimpin.  Siapapun sudah tahu bahwa korupsi merupakan tindakan yang tidak baik untuk dilakukan, apalagi oleh seorang pemimpin.  Korupsi merupakan salah satu manifestasi dari penyakit jiwa kronis yang diderita oleh pelaku korupsi.
Para pelaku korupsi pada hakekatnya adalah mereka yang memiliki masalah dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal, dan organisasional.  Komunikasi intrapersonal merupakan situasi tentang bagaimana seseorang melakukan komunikasi dengan dirinya sendiri.  Kontemplasi menjadi salah satu cara untuk melakukan tindakan untuk berbicara dengan dirinya sendiri.  Pertanyaan tentang ‘apa yang saya cari (what)’ dalam hidup ini, dan ‘bagaimana saya mendapatkan (how)’ hal tersebut, merupakan dua pertanyaan dasar dalam komunikasi intrapersonal.  Segala bentuk materi yang diperoleh dari hasil korupsi, pada dasarnya bukanlah merupakan hak untuk dimiliki.  Lantas, masih adakah tersisa kebanggaan yang melekat pada diri koruptor dengan memiliki begitu banyak materi yang sesungguhnya adalah bukan haknya?   Gambaran tentang koruptor dengan harta melimpah, adalah seperti yang sering terlihat di dalam film, di mana seorang yang miskin sedang berdiri di halaman rumah  orang lain yang mewah, sembari mengatakan kepada setiap orang yang lewat, bahwa rumah tersebut adalah miliknya.  Mereka menunjuk dan mengakui sesuatu yang jelas-jelas bukan miliknya.  Koruptor jelas tidak mempunyai kebanggaan diri (self esteem) atas banyaknya harta yang digenggamnya.
Koruptor dapat dipastikan bersifat selfish, hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli dengan orang lain, maupun keadaan di sekitarnya.  Koruptor sangat lemah dalam berhubungan secara interpersonal.  Selama dia dapat memperoleh apa yang diinginkan, dengan cara apapun, termasuk mungkin dengan cara menyakiti atau bahkan cara mematikan orang lain.  Koruptor menganggap kemiskinan yang terjadi di sekitarnya sebagai sebuah berkah, di mana banyaknya materi yang dimiliki akan menjadi relatif semakin besar dan kelihatan.   Koruptor oleh karena itu juga tidak peduli apakah tetangganya kelaparan, atau tidak mampu membayar uang sekolah anaknya.  Sifat manusianya seakan lenyap dan mata hatinya telah tertutup rapat.
Bagaimana korupsi dapat merusak semua tatanan yang ada di dalam sebuah organisasi?  Sebagai contoh, sebuah perusahaan merencanakan untuk melakukah pembelian barang yang diperlukan untuk kebutuhan operasional.  Ada dua pemasok yang memberikan penawaran, yaitu pemasok A (harga murah dan kualitas baik), dan B (harga mahal dan kualitas jelek).  Pada sisi internal perusahaan, ada dua bagian yang terlibat dalam proses pembelian tersebut, yaitu kepala bagian pemakai langsung (X), dan kepala bagian pembelian (Y).  Pihak X yang telah merencanakan sebuah tindakan korupsi dengan pemasok B, tentu saja akan selalu berusaha untuk mengatakan bahwa kualitas barang yang ditawarkan adalah baik dan telah sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan.  Sementara bagian pembelian yang bukan koruptor, mengatakan bahwa kualitas barang dari pemasok A adalah lebih bagus dengan harga yang lebih murah.  Bagaimana kira-kira yang terjadi selanjutnya dari situasi tersebut di atas?  Karena adanya kepentingan pribadi di dalamnya, maka koruptor akan merusak semua aturan yang ada, dengan mengatakan bahwa yang baik itu jelek dan yang jelek itu baik. Koruptor akan menciptakan suasana kerja yang sangat tidak kondusif, membangkitkan permusuhan, menimbulkan ketidakpercayaan, dan yang lebih kritis adalah membahayakan kelangsungan hidup organisasi (sustainability).
Pemimpin pada hakekatnya adalah individu-individu yang mempunyai keinginan besar untuk melakukan sesuatu yang baik, memberikan guna dan manfaat untuk dirinya sendiri, orang lain, organisasi hingga Negara pada lingkup yang lebih besar.  Pemimpin mempunyai kebanggaan atas hal-hal positif yang telah dilakukannya, menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat.  Pemimpin menjaga dirinya agar tidak bertindak sewenang-wenang karena kewenanganya, tetapi lebih kepada sikap menghargai dan menghormati sesama.
  
Pemimpin itu tidak korupsi.  Mereka yang melakukan korupsi hanyalah orang-orang picik yang melengkapi sifat rakusnya dengan berbuat sewenang-wenang atas kewenangan yang mereka miliki. Para pejabat yang melakukan korupsi, sesungguhnya sedang menunjukan kerendahan harkat dirinya di depan khalayak.  Mereka menunjukan bobroknya mental dan moralnya di depan keluarga, kerabat dan handai taulan.
Saya berkeyakinan bahwa kita semua memiliki derajat dan potensi untuk menjadi seorang pemimpin sejati, baik untuk diri sendiri, keluarga dan negeri tercinta ini……

Minggu, 02 September 2012

Kriteria Pemimpin Amanah


Satryo Soemantri Brodjonegoro
Dirjen Dikti (1999-2007)
Guru Besar ITB dan Anggota AIPI

KOMPAS.


Dalam waktu dekat akan ada sejumlah perguruan tinggi yang menjalani proses pemilihan atau pencarian pemimpinnya, rektor atau direktur, karena masa baktinya telah berakhir.
Tampaknya terjadi kegamangan, baik dikalangan pemerintah maupun perguruan tinggi, mengenai tata cara pemilihan atau pencarian dan mengenai kriteria calon. Setiap pihak berusaha menyajikan konsep atau perangkat yang nyaman untuk dirinya, yang memberikan zone nyaman bagi dirinya sehingga memudahkan dalam kebijakan yang menguntungkan dirinya.
Pemerintah mengharapkan pemimpin tersebut mampu dan loyal kepada pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan pemerintah. Loyalitas kepada pemerintah jadi kriteria dominan dalam mekanisme ini. Masyarakat perguruan tinggi mengharapkan pemimpin tersebut mampu menyejahterakan kampusnya dan mengapresiasi aspirasi masyarakat kampus. Popularitas di kalangan kampus jadi kriteria dominan dalam mekanisme ini.
Seharusnya tak ada masalah antara keduanya apabila pemerintah dan perguruan tinggi punya tujuan dan kerangka berpikir yang sama. Sebaliknya akan ada masalah berat dan mendasar jika keduanya mempunyai tujuan dan kerangka berpikir yang berbeda.
Loyalitas atau Populis?
Pemimpin kampus seyogianya bukanlah sosok yang loyalis ataupun populis, melainkan pemimpin yang berkarya, bukan berkarier. Apa karya yang diharapkan dari seorang pemimpin kampus? Tak lain adalah menjadikan kampus sebagai kekuatan moral yang mampu menyejahterakan masyarakat melalui kiprahnya.
Bagaimana cara memilih atau mencari pemimpin kampus? Penulis cenderung menggunakan istilah mencari pemimpin bukan memilih pemimpin. Sangat berbeda antara memilih dan mencari. Kalau memilih artinya menetapkan dari calon yang ada atau tersedia atau mencalonkan diiri atau dicalonkan, sedangkan mencari artinya menemukan calon yang sesuai tugas yang akan diemban. Seharusnya proses yang dilakukan kampus adalah pencarian, bukan pemilihan, rektor atau direktur.
Ada hal yang mendasar dalam proses pencarian pemimpin yaitu bahwa calon tidak harus mendaftarkan diri atau melamar karena rektor atau direktur bukan pekerjaan atau jabatan karier tetapi penugasan atau jabatan amanah. Tugas diamanahkan kepada orang yang mampu mengembannya. Mampu tidaknya seseorang calon bukan ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh kalangan di luar dirinya.
Kita patut mempertanyakan jika seseorang menyatakan bahwa dirinya mampu dan berhasil. Sebab, kemampuan dan keberhasilan seseorang tak dapat dinilai oleh diri sendiri. Hal itu tidak obyektif dan sangat subyektif. Namun, penilaian dilakukan oleh kalangan independen di luar dirinya sehingga obyektif.
Untuk mendapatkan pemimpin yang amanah bagi institusi perguruan tinggi, pemerintah dan perguruan tinggi sebagai dua entitas terpisah harus memerankan dirinya sebagai pemangku kepentingan untuk kemajuan bangsa dan negara. Pemerintah seyogiyanya memberikan otonomi kepada perguruan tinggi untuk menjalankan tugasnya membangun negara dan bangsa. Perguruan tinggi seyogiyanya mengamalkan amanah otonomi dari pemerintah berdasarkan kaidah hakiki suatu perguruan tinggi. Baik pemerintah maupun perguruan tinggi bertanggung jawab menyejahterakan masyarakat.
Dengan otonomi yang diembannya, Majelis Wali Amanah (Board of Trustees) perguruan tinggi membentuk panitia untuk meneliti dan mencari sejumlah calon pemimpin kampus yang kompeten dan amanah. Pencarian dilakukan, antara lain, dengan menelaah rekam jejak kepemimpinan dan kewibawaan akademik dari mereka yang berkiprah di bidang akademik.
Bagi yang berkompeten, panitia akan menanyakan kesediaan mereka untuk menjadi pemimpin kampus. Dalam hal ini tidak ada proses pendaftaran atau pencalonan diri sebagai calon pemimpin kampus. Untuk menjamin kualitas pemimpin yang akan diberi amanah, panitia harus terdiri atas orang-orang yang amanah dan hanya punya pamrih terhadap kemajuan kampus.