Satryo Soemantri Brodjonegoro
Dirjen Dikti (1999-2007)
Guru Besar ITB dan Anggota AIPI
KOMPAS.
Dalam waktu dekat akan ada sejumlah perguruan tinggi yang menjalani
proses pemilihan atau pencarian pemimpinnya, rektor atau direktur,
karena masa baktinya telah berakhir.
Tampaknya terjadi kegamangan, baik dikalangan pemerintah maupun
perguruan tinggi, mengenai tata cara pemilihan atau pencarian dan
mengenai kriteria calon. Setiap pihak berusaha menyajikan konsep atau
perangkat yang nyaman untuk dirinya, yang memberikan zone nyaman bagi
dirinya sehingga memudahkan dalam kebijakan yang menguntungkan dirinya.
Pemerintah mengharapkan pemimpin tersebut mampu dan loyal kepada
pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan pemerintah. Loyalitas
kepada pemerintah jadi kriteria dominan dalam mekanisme ini. Masyarakat
perguruan tinggi mengharapkan pemimpin tersebut mampu menyejahterakan
kampusnya dan mengapresiasi aspirasi masyarakat kampus. Popularitas di
kalangan kampus jadi kriteria dominan dalam mekanisme ini.
Seharusnya tak ada masalah antara keduanya apabila pemerintah dan
perguruan tinggi punya tujuan dan kerangka berpikir yang sama.
Sebaliknya akan ada masalah berat dan mendasar jika keduanya mempunyai
tujuan dan kerangka berpikir yang berbeda.
Loyalitas atau Populis?
Pemimpin kampus seyogianya bukanlah sosok yang loyalis ataupun populis,
melainkan pemimpin yang berkarya, bukan berkarier. Apa karya yang
diharapkan dari seorang pemimpin kampus? Tak lain adalah menjadikan
kampus sebagai kekuatan moral yang mampu menyejahterakan masyarakat
melalui kiprahnya.
Bagaimana cara memilih atau mencari pemimpin kampus? Penulis cenderung
menggunakan istilah mencari pemimpin bukan memilih pemimpin. Sangat
berbeda antara memilih dan mencari. Kalau memilih artinya menetapkan
dari calon yang ada atau tersedia atau mencalonkan diiri atau
dicalonkan, sedangkan mencari artinya menemukan calon yang sesuai tugas
yang akan diemban. Seharusnya proses yang dilakukan kampus adalah
pencarian, bukan pemilihan, rektor atau direktur.
Ada hal yang mendasar dalam proses pencarian pemimpin yaitu bahwa calon
tidak harus mendaftarkan diri atau melamar karena rektor atau direktur
bukan pekerjaan atau jabatan karier tetapi penugasan atau jabatan
amanah. Tugas diamanahkan kepada orang yang mampu mengembannya. Mampu
tidaknya seseorang calon bukan ditentukan oleh dirinya sendiri,
melainkan oleh kalangan di luar dirinya.
Kita patut mempertanyakan jika seseorang menyatakan bahwa dirinya mampu
dan berhasil. Sebab, kemampuan dan keberhasilan seseorang tak dapat
dinilai oleh diri sendiri. Hal itu tidak obyektif dan sangat subyektif.
Namun, penilaian dilakukan oleh kalangan independen di luar dirinya
sehingga obyektif.
Untuk mendapatkan pemimpin yang amanah bagi institusi perguruan tinggi,
pemerintah dan perguruan tinggi sebagai dua entitas terpisah harus
memerankan dirinya sebagai pemangku kepentingan untuk kemajuan bangsa
dan negara. Pemerintah seyogiyanya memberikan otonomi kepada perguruan
tinggi untuk menjalankan tugasnya membangun negara dan bangsa. Perguruan
tinggi seyogiyanya mengamalkan amanah otonomi dari pemerintah
berdasarkan kaidah hakiki suatu perguruan tinggi. Baik pemerintah maupun
perguruan tinggi bertanggung jawab menyejahterakan masyarakat.
Dengan otonomi yang diembannya, Majelis Wali Amanah (Board of Trustees)
perguruan tinggi membentuk panitia untuk meneliti dan mencari sejumlah
calon pemimpin kampus yang kompeten dan amanah. Pencarian dilakukan,
antara lain, dengan menelaah rekam jejak kepemimpinan dan kewibawaan
akademik dari mereka yang berkiprah di bidang akademik.
Bagi yang berkompeten, panitia akan menanyakan kesediaan mereka untuk
menjadi pemimpin kampus. Dalam hal ini tidak ada proses pendaftaran atau
pencalonan diri sebagai calon pemimpin kampus. Untuk menjamin kualitas
pemimpin yang akan diberi amanah, panitia harus terdiri atas orang-orang
yang amanah dan hanya punya pamrih terhadap kemajuan kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar