Oleh : HARMINTO
Di dalam beberapa kesempatan kegiatan pelatihan yang saya
lakukan, banyak sekali aneka ragam cerita tentang sesuatu yang baru dan menarik
dari para peserta pelatihan. Meskipun
cerita tersebut kedengaranya seperti sudah sangat ‘biasa’ atau cenderung ‘basi’,
dan tidak menarik untuk dibicarakan, akan tetapi saya lebih memilih untuk
menjadi pendengar yang baik dengan berempati dan menempatkan diri saya pada
sudut pandang orang yang bercerita. Berbagai
cerita tersebut pada umumnya terjadi dan mengalir di luar sesi pelatihan, yaitu
saat rehat kopi atau makan siang.
Seperti pada kegiatan pelatihan pada umumnya, saat rehat kopi
dilakukan, maka para peserta pelatihan dan trainer membaur dan terlibat dalam
aneka macam topik pembiacaraan, ringan terutama untuk isu-isu yang tengah ‘hot’
saat ini, mulai dari berita politik, gosip selebritis, anak, dan keluarga. Salah seorang peserta yang tengah duduk di
sebelah saya memulai dengan sebuah pertanyaan klasik seperti ini. “Berkali-kali
suami mengatakan kepada saya supaya berhenti bekerja, dan fokus untuk mengurus anak
dan rumah. Toh penghasilan suami sudah cukup untuk menopang kebutuhan keluarga”.
Menanggapi cerita seperti di atas, pasti ada yang setuju, dan
ada pula yang menolak. Setiap individu memberikan makna yang berbeda-beda terhadap
setiap situasi yang dilihatnya, karena mereka mempunyai latar belakang
pengetahuan dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap kompleksitas kehidupan. Perkataan
bahwa pendapatan suami adalah ‘cukup’, sudah merupakan modal yang kuat bagi
sang suami untuk meyakinkan istri agar berhenti bekerja. Pada
satu sisi, pernyataan ‘cukup’ tersebut berarti memberikan makna positif berupa jaminan/
kepastian bahwa penghasilan suami akan selalu cukup untuk menghidupi keluarga
pada waktu sekarang, tahun depan, hingga kapanpun mereka hidup. Sedangkan pada sisi yang lain, mengatakan
bahwa penghasilanya sudah cukup untuk menghidupi keluarga, secara tidak
langsung akan menciptakan sikap manja, dan mematikan kreatifitas maupun potensi
diri sang istri.
Salah seorang kerabat
saya (wanita), berpacaran dengan teman
kulianya, dan akhirnya menikah. Karena
penghasilan suami boleh dikatakan ‘cukup’, maka si istri tidak
diperbolehkan untuk
bekerja, mulai dari awal mereka menikah hingga suami pensiun. Kehidupan
keluarga mereka berjalan sangat
harmonis dan tidak pernah ada masalah yang serius, baik dari segi materi
maupun
yang lainya. Pernikahan mereka
dikaruniai dengan dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan.
Permasalahan baru mulai muncul saat sang suami meninggal dunia
menjelang tiga tahun
setelah pension. Sang istripun pada
akhirnya harus memulai untuk mencari pekerjaan pada usia sekitar 58
tahun! Ada
dua anak yang masih memerlukan biaya kuliah.
Bisa dibayangkan betapa pontang-panting si istri untuk mengurus
kelangsungan hidup keluarganya, terutama setelah ditinggal oleh suami.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pasti ada juga contoh-contoh ‘cerita
sukses’ dari kehidupan keluarga lainnya, yang menempatkan istri hanya untuk
mengurus rumah dan anak. Istilahnya,
suami bekerja di luar rumah, sementara istri bekerja di dalam rumah, termasuk
mengurus suami, anak-anak dan rumah itu sendiri.
Penting untuk dipahami bahwa dua situasi di atas bukan untuk
dipertentangkan, tetapi justru dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Memperhatikan aspek kelebihan dan kekurangan
dari masing-masing situasi yang ada, dan kemudian menentukan pilihan terhadap
kemungkinan terbaik yang diharapkan, dan tentunya juga membangun kesadaran terhadap
berbagai konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil.
Tidak ada yang abadi di dalam kehidupan dunia ini, kecuali
perubahan itu sendiri. Berubah merupakan
bentuk dan situasi alami yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari, dan hidup
merupakan sebuah keberanian untuk menghadapi ketidakpastian (uncertainty) itu sendiri. Dengan demikian, selalu ‘bergerak’ pada
hakekatnya adalah sebuah refleksi logis dari setiap makhluk hidup di dalam mengantisipasi
dan menjaga keseimbangan diri atas setiap perubahan yang terjadi, sehingga
mereka tetap dapat bertahan di dalam orbitnya.
Di dalam konsep kepemimpinan, pemimpin secara umum dipahami
sebagai orang yang dapat memberikan arah dan memberdayakan para pengikutnya, untuk
mencapai tujuan bersama. Sustainability atau kelangsungan hidup menjadi
kunci penting di dalam konteks kepemimpinan. Organisasi/keluarga harus dapat
tetap bertahan hidup, baik untuk masa waktu sekarang maupun yang akan datang. Pemimpin juga mempunyai kewajiban untuk mendidik
para pengikutnya agar selalu ‘bergerak’ secara proaktif, menggali potensi yang
ada, dan sekaligus mengembangkan potensi tersebut agar memberikan kontribusi
yang optimal bagi organisasi/keluarga.
Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menciptakan
pemimpin-pemimpin baru yang lebih hebat sebagai penerusnya. Sebaliknya, pemimpin akan dianggap gagal jika
setelah kepergianya, organisasi atau keluarga justru menjadi ambruk, berantakan,
dan tidak punya arah lagi.Pemimpin tidak akan membiarkan pengikutnya untuk terlena
dengan situasi ‘sementara’ yang ada saat ini.
Pemimpin bahkan juga tidak akan meninabobokan pengikutnya dengan berbagai
alasan klise lainya. Pemimpin sejati akan
terus membangun sikap mandiri para pengikutnya.
Bagaimana dengan Anda?