Visitors

free counters

Rabu, 15 Agustus 2012

Kepemimpinan Dalam Rumah Tangga


 


Oleh : HARMINTO
 

Di dalam beberapa kesempatan kegiatan pelatihan yang saya lakukan, banyak sekali aneka ragam cerita tentang sesuatu yang baru dan menarik dari para peserta pelatihan.  Meskipun cerita tersebut kedengaranya seperti sudah sangat ‘biasa’ atau cenderung ‘basi’, dan tidak menarik untuk dibicarakan, akan tetapi saya lebih memilih untuk menjadi pendengar yang baik dengan berempati dan menempatkan diri saya pada sudut pandang orang yang bercerita.  Berbagai cerita tersebut pada umumnya terjadi dan mengalir di luar sesi pelatihan, yaitu saat rehat kopi atau makan siang.  
Seperti pada kegiatan pelatihan pada umumnya, saat rehat kopi dilakukan, maka para peserta pelatihan dan trainer membaur dan terlibat dalam aneka macam topik pembiacaraan, ringan terutama untuk isu-isu yang tengah ‘hot’ saat ini, mulai dari berita politik, gosip selebritis, anak, dan keluarga.  Salah seorang peserta yang tengah duduk di sebelah saya memulai dengan sebuah pertanyaan klasik seperti ini. “Berkali-kali suami mengatakan kepada saya supaya berhenti bekerja, dan fokus untuk mengurus anak dan rumah. Toh penghasilan suami sudah cukup untuk menopang kebutuhan keluarga”.
Menanggapi cerita seperti di atas, pasti ada yang setuju, dan ada pula yang menolak. Setiap individu memberikan makna yang berbeda-beda terhadap setiap situasi yang dilihatnya, karena mereka mempunyai latar belakang pengetahuan dan pemahaman yang berbeda-beda terhadap kompleksitas kehidupan. Perkataan bahwa pendapatan suami adalah ‘cukup’, sudah merupakan modal yang kuat bagi sang suami untuk meyakinkan istri agar berhenti bekerja.   Pada satu sisi, pernyataan ‘cukup’ tersebut berarti memberikan makna positif berupa jaminan/ kepastian bahwa penghasilan suami akan selalu cukup untuk menghidupi keluarga pada waktu sekarang, tahun depan, hingga kapanpun mereka hidup.  Sedangkan pada sisi yang lain, mengatakan bahwa penghasilanya sudah cukup untuk menghidupi keluarga, secara tidak langsung akan menciptakan sikap manja, dan mematikan kreatifitas maupun potensi diri sang istri.
Salah seorang kerabat saya (wanita), berpacaran dengan teman kulianya, dan akhirnya menikah.  Karena penghasilan suami boleh dikatakan ‘cukup’, maka si istri tidak diperbolehkan untuk bekerja, mulai dari awal mereka menikah hingga suami pensiun.  Kehidupan keluarga mereka berjalan sangat harmonis dan tidak pernah ada masalah yang serius, baik dari segi materi maupun yang lainya.  Pernikahan mereka dikaruniai dengan dua orang anak laki-laki dan dua anak perempuan.  Permasalahan baru mulai muncul saat sang  suami meninggal dunia menjelang tiga tahun setelah pension.  Sang istripun pada akhirnya harus memulai untuk mencari pekerjaan pada usia sekitar 58 tahun! Ada dua anak yang masih memerlukan biaya kuliah.  Bisa dibayangkan betapa pontang-panting si istri untuk mengurus kelangsungan hidup keluarganya, terutama setelah ditinggal oleh suami.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pasti ada juga contoh-contoh ‘cerita sukses’ dari kehidupan keluarga lainnya, yang menempatkan istri hanya untuk mengurus rumah dan anak.  Istilahnya, suami bekerja di luar rumah, sementara istri bekerja di dalam rumah, termasuk mengurus suami, anak-anak dan rumah itu sendiri. 
Penting untuk dipahami bahwa dua situasi di atas bukan untuk dipertentangkan, tetapi justru dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan.  Memperhatikan aspek kelebihan dan kekurangan dari masing-masing situasi yang ada, dan kemudian menentukan pilihan terhadap kemungkinan terbaik yang diharapkan, dan tentunya juga membangun kesadaran terhadap berbagai konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil.
Tidak ada yang abadi di dalam kehidupan dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri.  Berubah merupakan bentuk dan situasi alami yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari, dan hidup merupakan sebuah keberanian untuk menghadapi ketidakpastian (uncertainty) itu sendiri.  Dengan demikian, selalu ‘bergerak’ pada hakekatnya adalah sebuah refleksi logis dari setiap makhluk hidup di dalam mengantisipasi dan menjaga keseimbangan diri atas setiap perubahan yang terjadi, sehingga mereka tetap dapat bertahan di dalam orbitnya.
Di dalam konsep kepemimpinan, pemimpin secara umum dipahami sebagai orang yang dapat memberikan arah dan memberdayakan para pengikutnya, untuk mencapai tujuan bersama.  Sustainability atau kelangsungan hidup menjadi kunci penting di dalam konteks kepemimpinan. Organisasi/keluarga harus dapat tetap bertahan hidup, baik untuk masa waktu sekarang maupun yang akan datang.  Pemimpin juga mempunyai kewajiban untuk mendidik para pengikutnya agar selalu ‘bergerak’ secara proaktif, menggali potensi yang ada, dan sekaligus mengembangkan potensi tersebut agar memberikan kontribusi yang optimal bagi organisasi/keluarga.  Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk menciptakan pemimpin-pemimpin baru yang lebih hebat sebagai penerusnya.  Sebaliknya, pemimpin akan dianggap gagal jika setelah kepergianya, organisasi atau keluarga justru menjadi ambruk, berantakan, dan tidak punya arah lagi.Pemimpin tidak akan membiarkan pengikutnya untuk terlena dengan situasi ‘sementara’ yang ada saat ini. Pemimpin bahkan juga tidak akan meninabobokan pengikutnya dengan berbagai alasan klise lainya. Pemimpin sejati akan terus membangun sikap mandiri para pengikutnya.
Bagaimana dengan Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar