Oleh : HARMINTO
Saya merasa sangat beruntung mendapat kesempatan yang sangat
berharga untuk berkunjung ke Pemerintah Daerah Kabupaten Anambas pada akhir
Maret 2012. Pada saat menerima undangan untuk
menjadi pembicara seminar tentang leadership
tersebut, saya mencoba untuk mengingat dimana posisi geografis dari Anambas,
meskipun akhirnya harus menyerah dan mencari lokasi tersebut melalui peta
Indonesia yang tergantung di dinding kantor.
Pemda Anambas atau sering disebut sebagai kepulauan Anambas
termasuk di dalam wilayah pemerintah propinsi KEPRI-Kepulauan Riau bagian
luar. Bertetangga dengan Kabupaten
Natuna, Anambas terletak di bagian tengah atas dari pulau Kalimantan dan Malaysia. Apabila ditarik sedikit ke atas atau ke
utara, maka akan ketemu dengan perbatasan Vietnam dan Thailand. Sebagai sebuah kabupaten kecil di wilayah
bagian luar Indonesia, Anambas kaya akan minyak, gas dan mineral, serta ikan
Napoleon yang ditujukan untuk pasar ekspor.
Berpenduduk sekitar 46.000 jiwa pada Maret 2012, Anambas memiliki nilai
APBD sebesar Rp. 1,17 T.
Sesi workshop yang
diselenggarakan selama dua hari, secara garis besarnya berisi tentang upaya
pencegahan tindak pidana korupsi, khususnya dalam bidang pengadaan barang dan
jasa di lingkup pemerintah daerah Anambas.
Peserta yang hadir sebanyak kurang lebih 80 orang, yang berasal dari unsur
pemerintah daerah, terutama para kepala dinas beserta seluruh staff.
Pada saat sesi leadership
berlangsung, ada salah satu pertanyaan yang sangat menarik dari peserta yang
hadir. Pertanyaanya kurang lebih seperti
ini, “Dari seluruh uraian tentang teori kepemimpinan yang sudah dijelaskan,
kira-kira siapa tokoh atau pemimpin yang baik, dan bisa kita tiru?” Apakah itu mungkin Soekarno sang proklamator
dan presiden pertama Indonesia, Soeharto yang sering disebut sebagai Bapak
Pembangunan Indonesia, SBY, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, atau yang lainya?”
Pemimpin dianggap hebat apabila kemampuan yang dimiliki
dihadirkan pada suatu kondisi dan situasi yang sesuai dengan kemampuanya. Di dalam Harvard
Business Review edisi Desember 2011, pernah diulas tentang tipe pemimpin
sukses; apakah pemimpin itu harus orang yang extrovert? Ataukah orang
yang introvert juga mempunyai
kesempatan untuk menjadi pemimpin handal?
Pemimpin extrovert
akan memiliki kecenderungan untuk sukses apabila orang-orang di dalam
organisasi yang dipimpin lebih banyak yang bersikap diam dan menunggu, kurang
kreatif, tidak proaktif, dan minim dengan ide-ide baru. Kehadiran pemimpin extrovert diharapkan dapat memberikan dorongan baru yang kuat
kepada seluruh anggota oranisasi untuk bergerak secara bersama-sama, menuju
kepada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Karakter pemimpin
extrovert yang cenderung ‘meledak-ledak’,
kemungkinan besar akan mampu untuk mendorong gerbong organisaisi agar bergerak
maju secara positif, dengan kecepatan gerak yang lebih baik. Pada sisi lain, pemimpin yang introvert akan mempunyai faktor sukses
yang lebih baik jika ditempatkan di dalam sebuah organisasi, dimana anggota
organisasi tersebut sudah sangat dinamis, proaktif, kaya akan ide-ide baru, dan
juga tersedia ruang yang bebas untuk menyampaikanya. Pada situasi tersebut, pemimpin introvert bukan bertindak sebagai motor
penggerak yang ‘meledak-ledak’, melainkan lebih kepada sikap mengakomodir semua
ide, masukan, saran, dan berbagai karya yang ada. Sikap ‘mendorong’ tidak lagi diperlukan dalam
situasi ini, akan tetapi justru mendemostrasikan kemampuan untuk menjadi
pendengar yang baik.
Apabila pemimpin extrovert
ditempatkan di dalam situasi organisasi yang sudah dinamis, maka kehadirannya
justru akan berpotensi pada terjadinya perpecahan, kegagalan, atau yang lebih
parah lagi justru akan mematikan kreativitas yang telah ada di dalam
organisasi. Berbagai ide maupun kreativitas dari anggota organisasi justru akan
dipandang sebagai sebuah ancaman oleh para pemimpin extrovert. Sebaliknya,
seorang pemimpin introvert akan
menemui kesulitan jika ditempatkan pada organisasi yang statis, dimana anggota
organisasi di dalamnya lebih banyak diam, minim dengan ide dan kreativitas
baru. Orang introvert mempunyai
kecenderungan untuk menghindari konflik, dan relatif tidak memiliki energi yang
kuat untuk membakar semangat anggota organisasi.
Sebagai contoh dari keterangan di atas, mari kita berkaca pada
perjalanan sejarah kepemimpinan di Indonesia.
Soekarno merupakan salah satu pemimpin hebat ‘saat itu’, dimana Soekarno
memiliki kemampuan yang luar biasa untuk membakar semangat rakyat Indonesia
untuk berjuang mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Fokus kepemimpinan Soekarno kala itu sangat
jelas, yaitu membangkitkan semangat dan keberanian untuk berperang, bukan untuk
tujuan yang lain. Sikap pemimpin extrovert yang meledak-ledak dan lantang
dari Soekarno tersebut sangat dibutuhkan sesuai dengan situasi yang ada saat
itu, yaitu rakyat yang haus akan kemerdekaan.
Berbeda lagi dengan
jaman pemerintahan Soeharto yang dikenal
sebagai era orde baru, yang mempunyai kecenderungan untuk ‘menutup’ ide
maupun
kreatifitas yang kemungkinan dapat ‘mengacaukan’ jalanya pembangunan
yang telah direncanakan. Dengan fokus pada tujuan utama pada
pembangunan
infrastruktur fisik, maka Soeharto harus memastikan bahwa situasi
keamanan
harus benar-benar terkendali, dengan cara apapun, termasuk mematikan
kreatifitas maupun ide-ide yang diperhitungkan dapat mengganggu
kelancaran pembangunan
yang dicanangkan. Gaya bicara Soeharto yang lembut dan terkesan sopan,
jelas bukan
merupakan cerminan dari pemimpin extrovert. Akan tetapi, tindakan tegas dari Soeharto
yang nyaris tidak kenal kompromi, secara nyata telah menunjukan karakter
pemimpin yang extrovert tulen,
membungkam siapapun yang berlawanan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung….!
Situasi yang berbeda ditunjukan oleh Soesilo Bambang
Yudhoyono yang menjadi presiden Indonesia pasca reformasi. Euforia reformasi membawa dampak yang sangat
besar bagi rakyat Indonesia setelah cukup lama berada dalam kekuasaan
pemerintahan orde baru. Era reformasi
dipersepsikan sebagai situasi dimana setiap orang boleh berbicara, berbeda
pendapat, demonstrasi, dan lainya. Era
reformasi ditandai dengan pertunjukan ‘ego dan akunya’ masyarakat maupun
golongan. Gaya dan tindakan SBY terlihat
sangat kental dengan orang-orang dari kelompok introvert lainya, yaitu cenderung lebih bayak mengkamodir ide,
saran, dan pendapat dari semua lapisan masyarakat. Sebagai konsekuensinya, maka pertunjukan gaya
introvert SBY yang relatif berlebihan
dianggap sebagai suatu sikap yang plin-plan, tidak tegas, tidak punya
pendirian, dan berbagai konotasi lain. Konsekuensi
tersebut sangat logis dan harus diterima oleh pemimpin introvert seperti SBY. Pemimpin introvert,
seperti yang ditunjukan oleh SBY, cenderung menunjukan keinginan untuk
dipersepsikan sebagai ‘orang baik’, yang menghindari sesuatu yang berbau konflik.
Pemimpin akan memberikan inspirasi tentang kepemimpinanya
kepada kita. Menjadi pemimpin dengan
kekuatan karakter diri sendiri, justru akan memperkuat identitas pribadi yang
sebenar-benarnya. Impian untuk menjadi ‘seperti
pemimpin lain’ justru akan menempatkan kita pada jebakan euforia kehebatan
orang lain, bukan pada karakter dan kekuatan yang bersumber dari dalam diri
sendiri.
Pemimpin dengan karakter diri sendiri adalah pemimpin
pembelajar yang selalu menggali berbagai konsep tentang kepemimpinan dari
banyak orang, kemudian mengimplementasikan konsep kepemimpinan tersebut sesuai
dengan situasi dan kondisi organisasi yang dipimpinya. Jangan biarkan diri kita terjebak di dalam batas
hanya mengamati kehebatan orang lain, dan kemudian mengaguminya secara membabi
buta, karena tindakan tersebut justru akan mematikan potensi kepemimpinan yang
kita miliki.
Bagaimana dengan Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar